TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH
- PENDAHULUAN
Mengganti organ tubuh yang sakit atau rusak sama
sekali bukanlah inovasi abad modern. Dalam sebuah literature hadis
juga dituturkan peristiwa ‘Ufrajah, seorang sahabat Nabi saw.
Kehilangan hidung ketika berperang dan diganti dengan hidung palsu
seperti perak. Hidung buatannya itu kemudian menimbulkan bau yang
tidak sedap, sehingga ia meminta nasihat Nabi saw. Kemudian Nabi
menganjurkan untuk segera mengganti hidung perak itu dengan bahan
emas.1
Namun, transplantasi suatu organ tubuh dari
spesies yang sama belum pernah terjadi sampai pada tahun 1913, yaitu
ketika Dr. Alexis Carrel, seorang ahli bedah dari Prancis, berhasil
melakukan transplantasi ginjal seekor kucing pada kucing lain. Sampai
pada akhirnya, Prof. Christiaan N. Barnard beserta tim ahli bedahnya
dari Afrika Selatan pada tanggal 3 Desember 1967 berhasil melakukan
pemindahan jantung dari seorang wanita berusia 24 tahun untuk
seseorang berusia 54 tahun.
Terlepas dari sejarah
singkat transplantasi (pencangkokan) organ tubuh tersebut,
transplantasi masih menjadi polemik bagi kalangan ahli hukum serta
ahli medis tentang hukum melakukan transplantasi organ pada manusia.
Maka pada pembahasan makalah mata kuliah “Masail Fiqhiyah” ini
kami tertarik untuk membahas masalah fiqih tentang hukum
transplantasi pada manusia.
- PENGERTIAN TRANSPLANTASI
Transplantasi organ adalah pemindahan suatu
jaringan atau organ manusia tertentu dari suatu tempat ketempat lain
pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain dengan persyaratan dan
kondisi tertentu.2
Tujuan utama transplantasi organ adalah
mengurangi penderitaan dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Transplantasi ditinjau dari sudut si penerima dapat dibedakan
menjadi :
1)
Autotransplantasi, yaitu pemindahan suatu
jaringan atau organ ke tempat lain dalam tubuh orang itu sendiri.
2)
Homotransplantasi, yaitu pemindahan suatau
jaringan atau organ dari tubuh seseorang ke tubuh
orang lain.
Pada dasarnya masalah ini diperbolehkan selama
memenuhi persyaratannya yaitu:
1. Tidak membahayakan kelangsungan hidup yang wajar bagi donatur
jaringan/organ. Karena kaidah hukum islam menyatakan bahwa suatu
bahaya tidak boleh dihilangkan dengan resiko mendatangkan bahaya
serupa/sebanding.
2. Hal itu harus dilakukan oleh donatur dengan sukarela tanpa paksaan
dan tidak boleh diperjual belikan.
3. Boleh dilakukan bila memang benar-benar transplantasi sebagai
alternatif peluang satu-satunya bagi penyembuhan penyakit pasien dan
benar-benar darurat.
4. Boleh dilakukan bila peluang keberhasilan
transplantasi tersebut sangat besar. 3
- Hukum Transplantasi Organ Tubuh
1. Hukum
Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Sehat
Apabila transplantasi organ tubuh diambil dari
orang yang masih dalam keadaan hidup sehat, maka hukumnya ‘Haram’,
dengan alasan :
a. Firman Allah dalam Al Quran
surah Al Baqarah ayat 195 :
وَلاَ
تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إَلىَ
التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri dalam kebinasaan”.
Ayat tersebut mengingatkan manusia, agar jangan
gegabah dan ceroboh dalam melakukan sesuatu, namun tetap menimbang
akibatnya yang kemungkinan bisa berakibat fatal bagi diri donor,
walaupun perbuatan itu mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik dan
luhur.
Umpamanya seseorang menyumbangkan sebuah
ginjalnya atau matanya pada orang lain yang memerlukannya karena
hubungan keluarga, teman atau karena berharap adanya imbalan dari
orang yang memerlukan dengan alasan krisis ekonomi. Dalam masalah
yang terakhir ini, yaitu donor organ tubuh yang mengharap imbalan
atau menjualnya, haram hukumnya, disebabkan karena organ tubuh
manusia itu adalah milik Allah, maka tidak boleh
memperjualbelikannya. Manusia hanya berhak mempergunakannya, walaupun
organ tubuh itu dari orang lain.
Orang yang mendonorkan organ tubuhnya pada waktu
masih hidup sehat kepada orang lain, ia akan menghadapi resiko
ketidakwajaran, karena mustahil Allah menciptakan mata atau ginjal
secara berpasangan kalau tidak ada hikmah dan manfaatnya bagi seorang
manusia. Maka bila ginjal si donor tidak berfungsi lagi, maka ia
sulit untuk ditolong kembali.
Maka sama halnya, menghilangkan penyakit dari
resipien dengan cara membuat penyakit baru bagi si donor. Hal ini
tidak diperbolehkan karena dalam qaidah fiqh disebutkan:
الضَّرَرُ
لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
“Bahaya (kemudharatan) tidak boleh
dihilangkan dengan bahaya (kemudharatan) lainnya”.4
b. Qaidah Fiqhiyyah
دَرْءُ
اْلمَفاَسِدِ مُقَدَّمٌ عَلىَ جَلْبِ
اْلمَصَالِحِ
“Menghindari kerusakan/resiko, didahulukan
dari/atas menarik kemaslahatan”.5
Berkaitan transplantasi, seseorang harus lebih
mengutamakan menjaga dirinya dari kebinasaan, daripada menolong orang
lain dengan cara mengorbankan diri sendiri dan berakibat fatal,
akhirnya ia tidak mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya, terutama
tugas kewajibannya dalam melaksanakan ibadah.
2. Hukum
Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Koma
Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam
keadaan koma, hukumnya tetap haram, walaupun menurut dokter, bahwa si
donor itu akan segera meninggal, karena hal itu dapat mempercepat
kematiannya dan mendahului kehendak Allah, hal tersebut dapat
dikatakan ‘euthanasia’
atau mempercepat kematian.
Tidaklah berperasaan/bermoral melakukan
transplantasi atau mengambil organ tubuh dalam keadaan sekarat. Orang
yang sehat seharusnya berusaha untuk menyembuhkan orang yang sedang
koma tersebut, meskipun menurut dokter, bahwa orang yang sudah koma
tersebut sudah tidak ada harapan lagi untuk sembuh. Sebab ada juga
orang yang dapat sembuh kembali walau itu hanya sebagian kecil,
padahal menurut medis, pasien tersebut sudah tidak ada harapan untuk
hidup.
Maka dari itu, mengambil organ tubuh donor dalam
keadaan koma, tidak boleh menurut Islam dengan alasan sebagai berikut
:
a. Hadits Nabi, riwayat Malik
dari ‘Amar bin Yahya, riwayat al-Hakim, al-Baihaqi dan
al-Daruquthni dari Abu Sa’id al-Khudri dan riwayat Ibnu Majah dari
Ibnu ‘Abbas dan ‘Ubadah bin al-Shamit :
لاَ
ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membuat madharat pada diri
sendiri dan tidak boleh pula membuat madharat pada orang lain”.6
Berdasarkan hadits tersebut, mengambil organ
tubuh orang dalam keadaan koma/sekarat haram hukumnya, karena dapat
membuat madharat kepada donor tersebut yang berakibat mempercepat
kematiannya, yang disebut euthanasia.
b. Manusia wajib berusaha untuk
menyembuhkan penyakitnya demi mempertahankan hidupnya, karena hidup
dan mati berada di tangan Allah. Oleh karena itu, manusia tidak boleh
mencabut nyawanya sendiri atau mempercepat kematian orang lain,
meskipun hal itu dilakukan oleh dokter dengan maksud mengurangi atau
menghilangkan penderitaan pasien.
3. Hukum
Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Meninggal
Mengambil organ tubuh donor (jantung, mata atau
ginjal) yang sudah meninggal secara yuridis dan medis, hukumnya
mubah, yaitu dibolehkan menurut pandangan Islam dengan syarat bahwa :
a. Resipien (penerima sumbangan
organ tubuh) dalam keadaan darurat yang mengancam jiwanya bila tidak
dilakukan transplantasi itu, sedangkan ia sudah berobat secara
optimal baik medis maupun non medis, tetapi tidak berhasil. Hal ini
berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
الضَّرُوْرَاتُ
تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاتِ
Juga berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
الضَّرَرُ
يُزَالُ
b. Juga pencangkokan cocok dengan organ
resipien dan tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih
gawat baginya dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Disamping itu
harus ada wasiat dari donor kepada ahli warisnya, untuk menyumbangkan
organ tubuhnya bila ia meninggal, atau ada izin dari ahli warisnya.
Demikian ini sesuai dengan fatwa Majelis Ulama
Indonesia tanggal 29 Juni 1987, bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan
lain yang lebih baik, maka pengambilan katup jantung orang yang telah
meninggal untuk kepentingan orang yang masih hidup, dapat dibenarkan
oleh hukum Islam dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan (lewat
wasiat sewaktu masih hidup) dan izin keluarga/ahli waris.9
Adapun fatwa MUI tersebut dikeluarkan setelah
mendengar penjelasan langsung Dr. Tarmizi Hakim kepada UPF bedah
jantung RS Jantung “Harapan Kita” tentang teknis pengambilan
katup jantung serta hal-hal yang berhubungan dengannya di ruang
sidang MUI pada tanggal 16 Mei 1987. Komisi Fatwa sendiri mengadakan
diskusi dan pembahasan tentang masalah tersebut beberapa kali dan
terakhir pada tanggal 27 Juni 1987.10
Adapun dalil-dalil yang dapat menjadi dasar
dibolehkannya transplantasi organ tubuh, antara lain:
a. Al-Quran surah Al-Baqarah ayat
195 yang telah kami sebut dalam pembahasan didepan, yaitu bahwa Islam
tidak membenarkan seseorang membiarkan dirinya dalam bahaya, tanpa
berusaha mencari penyembuhan secara medis dan non medis, termasuk
upaya transplantasi, yang memberi harapan untuk bisa bertahan hidup
dan menjadi sehat kembali.
b. Al-Quran surah Al-Maidah ayat 32:
وَمَنْ
أَحْياَهَا فَكَأَنمَّاَ أَحْيَا النَّاسَ
جَمِيْعاً
“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia
semuanya”.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa tindakan
kemanusiaan (seperti transplantasi) sangat dihargai oleh agama Islam,
tentunya sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan diatas.
c. Al-Quran
surah Al-Maidah ayat 2: “Dan
tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan jangan tolong-menolong
dalam berbuat dosa”. Selain itu juga
ayat 195, menganjurkan agar kita berbuat baik. Artinya: “Dan
berbuat baiklah karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
Menyumbangkan organ tubuh si mayit merupakan
suatu perbuatan tolong-menolong dalam kebaikan, karena memberi
manfaat bagi orang lain yang sangat memerlukannya.
Pada dasarnya, pekerjaan transplantasi dilarang
oleh agama Islam, karena agama Islam memuliakan manusia berdasarkan
surah al-Isra ayat 70, juga menghormati jasad manusia walaupun sudah
menjadi mayat, berdasarkan hadits Rasulullah saw. : “Sesungguhnya
memecahkan tulang mayat muslim, sama seperti memecahkan tulangnya
sewaktu masih hidup”. (HR. Ahmad, Abu
Daud, Ibnu Majah, Said Ibn Mansur dan Abd. Razzaq dari ‘Aisyah).11
Tetapi menurut Abdul Wahab al-Muhaimin; meskipun
pekerjaan transplantasi itu diharamkan walau pada orang yang sudah
meninggal, demi kemaslahatan karena membantu orang lain yang sangat
membutuhkannya, maka hukumnya mubah/dibolehkan selama dalam pekerjaan
transplantasi itu tidak ada unsur merusak tubuh mayat sebagai
penghinaan kepadanya.12
Hal ini didasarkan pada qaidah fiqhiyyah :
ِإذَا
تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتاَنِ رُوْعِيَ
أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ
أَخَفِّهِمَا
“Apabila bertemu dua hal yang mendatangkan
mafsadah (kebinasaan), maka dipertahankan yang mendatangkan madharat
yang paling besar, dengan melakukan perbuatan yang paling ringan
madharatnya dari dua madharat”.13
d. Hadits Nabi saw.
تَدَاوُوْا
عِبَادَ اللهِ فَإِنَّ الله َلَمْ يَضَعْ
دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ
دَاءٍ وَاحِدٍ اْلهَرَمُ
“Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah,
karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan suatu penyakit kecuali dia
juga telah meletakkan obat penyembuhnya, selain penyakit yang satu,
yaitu penyakit tua”.
(HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Hakim dari Usamah ibnu Syuraih)
Oleh sebab itu, transplantasi sebagai upaya
menghilangkan penyakit, hukumnya mubah, asalkan tidak melanggar norma
ajaran Islam.
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda pula :
“Setiap penyakit ada obatnya, apabila
obat itu tepat, maka penyakit itu akan sembuh atas izin Allah”.
(HR. Ahmad dan Muslim dari Jabir).14
Selanjutnya berkenaan dengan hukum antara donor
dan resipien yang seagama atau tidak seagama, serta hukum organ tubuh
yang diharamkan seperti babi, juga dapat menimbulkan masalah, tetapi
hal tersebut dapat dikaji berdasar ayat-ayat Al-Quran surah al-Najm
38-41 :
1. “Bahwa
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwa
manusia itu tidak memperoleh selain apa yang ia usahakan. Dan bahwa
usahanya itu kelak akan diperlihatkan. Kemudian akan diberi
balasannya dengan balasan yang paling sempurna”.
2. Al-Quran surah
al-Baqarah ayat 286 : “Ia mendapat
pahala dari kebajikan yang diusahakannya itu dan ia mendapat siksa
dari kejahatan yang dikerjakannya”.
Berdasar ayat-ayat diatas, berkenaan dengan
hubungan antara donor dengan resipien yang menyangkut pahala atau
dosa maka dalam hal ini mereka masing-masing akan
mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan mereka sendiri-sendiri.
Mereka tidak akan dibebani dengan pahala atau
dosa, kecuali yang dilakukan oleh masing-masing mereka. Yang perlu
diingat, bahwa yang salah bukan organ tubuh, tetapi pusat pengendali,
yaitu pusat urat syaraf.
Oleh sebab itu, tidak perlu khawatir dengan
organ tubuh yang disumbangkan, karena tujuannya adalah untuk
kemanusiaan dan dilakukan dalam keadaan darurat.
- KESIMPULAN
Transplantasi
merupakan hal yang sangat rumit dalam pengambilan tindakan yang
tepat, karena banyak pendapat yang menentang dan mendukung tentang
pelaksanaan transplantasi dengan berbagai alasan yang berbeda-beda.
dari uraian pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum
pelaksanaan transplantasi organ itu bergantung pada alasannya mengapa
harus melakukan hal tersebut. jika alasannya tidak mendukung maka
kegiatan transplantasi tesebut sangat dilarang dan hukumnya haram.
- DAFTAR PUSTAKA
Al Quranul Karim dn terjemahannya
Al-Suyuthi, Al-Asybah
wa al-Nazhair,
(Beirut-Lebanon: Dar-al-Fikr, 1415 H/1995 M)
Nata, Abuddin, Masail
Fiqhiyyah,
Kencana kerjasama dengan UIN Jakarta Press, Edisi I, Juli 2003
Sulayman
ibn al-Asy’ats al-Sijistani, Abu Dawud Sunan
Abi Dawud
(Beirut: Dar Ihya al-Sunnah al-Nabawiyah,t.t), “Kitab al- Khatim,
hadis no.4232, vol.2
Al-Suyuthi,
al-Jami’
al-Shaghir,
(Beirut: Dar-al-Kutub al-Ilmiah, tt), Cet. IV, Jilid I
MUI,
Himpunan
Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
Jakarta: Sekretariat MUI, 1415 H/1995 M
1Abu
Dawud Sulayman ibn al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan
Abi Dawud
(Beirut: Dar Ihya al-Sunnah al-Nabawiyah,t.t), “Kitab al- Khatim,
hadis no.4232, vol.2, hal. 92
2http
:// Konsultasi . Wordpress .com/2007/01/13/transplantasi –organ-
2/. Diakses pada 3 Maret 2013
3http://onenoc3ng.blogspot.com/2009/07/masail-fiqhiyah-transplantasi-organ-dll.html.
Diakses pada 3 Maret 2013
5Ibid,
hal. 63
8Ibid,
hal. 60
9MUI,
Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat
MUI, 1415 H/1995 M), hal. 176
10Ibid,
hal. 176-177
Tidak ada komentar:
Posting Komentar