Rabu, 05 Juni 2013

TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH

TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH

  1. PENDAHULUAN
Mengganti organ tubuh yang sakit atau rusak sama sekali bukanlah inovasi abad modern. Dalam sebuah literature hadis juga dituturkan peristiwa ‘Ufrajah, seorang sahabat Nabi saw. Kehilangan hidung ketika berperang dan diganti dengan hidung palsu seperti perak. Hidung buatannya itu kemudian menimbulkan bau yang tidak sedap, sehingga ia meminta nasihat Nabi saw. Kemudian Nabi menganjurkan untuk segera mengganti hidung perak itu dengan bahan emas.1
Namun, transplantasi suatu organ tubuh dari spesies yang sama belum pernah terjadi sampai pada tahun 1913, yaitu ketika Dr. Alexis Carrel, seorang ahli bedah dari Prancis, berhasil melakukan transplantasi ginjal seekor kucing pada kucing lain. Sampai pada akhirnya, Prof. Christiaan N. Barnard beserta tim ahli bedahnya dari Afrika Selatan pada tanggal 3 Desember 1967 berhasil melakukan pemindahan jantung dari seorang wanita berusia 24 tahun untuk seseorang berusia 54 tahun.
Terlepas dari sejarah singkat transplantasi (pencangkokan) organ tubuh tersebut, transplantasi masih menjadi polemik bagi kalangan ahli hukum serta ahli medis tentang hukum melakukan transplantasi organ pada manusia. Maka pada pembahasan makalah mata kuliah “Masail Fiqhiyah” ini kami tertarik untuk membahas masalah fiqih tentang hukum transplantasi pada manusia.


  1. PENGERTIAN TRANSPLANTASI
Transplantasi organ adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia tertentu dari suatu tempat ketempat lain pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain dengan persyaratan dan kondisi  tertentu.2
Tujuan utama transplantasi organ adalah mengurangi penderitaan dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Transplantasi  ditinjau dari sudut si penerima dapat dibedakan menjadi :
1)      Autotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam tubuh orang itu sendiri.
2)      Homotransplantasi, yaitu pemindahan suatau jaringan atau organ dari  tubuh seseorang ke  tubuh  orang lain.
Pada dasarnya masalah ini diperbolehkan selama memenuhi persyaratannya yaitu:
1. Tidak membahayakan kelangsungan hidup yang wajar bagi donatur jaringan/organ. Karena kaidah hukum islam menyatakan bahwa suatu bahaya tidak boleh dihilangkan dengan resiko mendatangkan bahaya serupa/sebanding.
2. Hal itu harus dilakukan oleh donatur dengan sukarela tanpa paksaan dan tidak boleh diperjual belikan.
3. Boleh dilakukan bila memang benar-benar transplantasi sebagai alternatif peluang satu-satunya bagi penyembuhan penyakit pasien dan benar-benar darurat.
4. Boleh dilakukan bila peluang keberhasilan transplantasi tersebut sangat besar. 3


  1. Hukum Transplantasi Organ Tubuh
1.      Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Sehat
Apabila transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih dalam keadaan hidup sehat, maka hukumnya ‘Haram’, dengan alasan :
a.       Firman Allah dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat 195 :
وَلاَ تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إَلىَ التَّهْلُكَةِ
Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan”.
Ayat tersebut mengingatkan manusia, agar jangan gegabah dan ceroboh dalam melakukan sesuatu, namun tetap menimbang akibatnya yang kemungkinan bisa berakibat fatal bagi diri donor, walaupun perbuatan itu mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik dan luhur.
Umpamanya seseorang menyumbangkan sebuah ginjalnya atau matanya pada orang lain yang memerlukannya karena hubungan keluarga, teman atau karena berharap adanya imbalan dari orang yang memerlukan dengan alasan krisis ekonomi. Dalam masalah yang terakhir ini, yaitu donor organ tubuh yang mengharap imbalan atau menjualnya, haram hukumnya, disebabkan karena organ tubuh manusia itu adalah milik Allah, maka tidak boleh memperjualbelikannya. Manusia hanya berhak mempergunakannya, walaupun organ tubuh itu dari orang lain.
Orang yang mendonorkan organ tubuhnya pada waktu masih hidup sehat kepada orang lain, ia akan menghadapi resiko ketidakwajaran, karena mustahil Allah menciptakan mata atau ginjal secara berpasangan kalau tidak ada hikmah dan manfaatnya bagi seorang manusia. Maka bila ginjal si donor tidak berfungsi lagi, maka ia sulit untuk ditolong kembali.
Maka sama halnya, menghilangkan penyakit dari resipien dengan cara membuat penyakit baru bagi si donor. Hal ini tidak diperbolehkan karena dalam qaidah fiqh disebutkan:
الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
Bahaya (kemudharatan) tidak boleh dihilangkan dengan bahaya (kemudharatan) lainnya”.4


b.      Qaidah Fiqhiyyah
دَرْءُ اْلمَفاَسِدِ مُقَدَّمٌ عَلىَ جَلْبِ اْلمَصَالِحِ
Menghindari kerusakan/resiko, didahulukan dari/atas menarik kemaslahatan”.5
Berkaitan transplantasi, seseorang harus lebih mengutamakan menjaga dirinya dari kebinasaan, daripada menolong orang lain dengan cara mengorbankan diri sendiri dan berakibat fatal, akhirnya ia tidak mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya, terutama tugas kewajibannya dalam melaksanakan ibadah.


2.      Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Koma
Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan koma, hukumnya tetap haram, walaupun menurut dokter, bahwa si donor itu akan segera meninggal, karena hal itu dapat mempercepat kematiannya dan mendahului kehendak Allah, hal tersebut dapat dikatakan ‘euthanasia’ atau mempercepat kematian.
Tidaklah berperasaan/bermoral melakukan transplantasi atau mengambil organ tubuh dalam keadaan sekarat. Orang yang sehat seharusnya berusaha untuk menyembuhkan orang yang sedang koma tersebut, meskipun menurut dokter, bahwa orang yang sudah koma tersebut sudah tidak ada harapan lagi untuk sembuh. Sebab ada juga orang yang dapat sembuh kembali walau itu hanya sebagian kecil, padahal menurut medis, pasien tersebut sudah tidak ada harapan untuk hidup.
Maka dari itu, mengambil organ tubuh donor dalam keadaan koma, tidak boleh menurut Islam dengan alasan sebagai berikut :
a.       Hadits Nabi, riwayat Malik dari ‘Amar bin Yahya, riwayat al-Hakim, al-Baihaqi dan al-Daruquthni dari Abu Sa’id al-Khudri dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas dan ‘Ubadah bin al-Shamit :
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
Tidak boleh membuat madharat pada diri sendiri dan tidak boleh pula membuat madharat pada orang lain”.6
Berdasarkan hadits tersebut, mengambil organ tubuh orang dalam keadaan koma/sekarat haram hukumnya, karena dapat membuat madharat kepada donor tersebut yang berakibat mempercepat kematiannya, yang disebut euthanasia.
b.      Manusia wajib berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya demi mempertahankan hidupnya, karena hidup dan mati berada di tangan Allah. Oleh karena itu, manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri atau mempercepat kematian orang lain, meskipun hal itu dilakukan oleh dokter dengan maksud mengurangi atau menghilangkan penderitaan pasien.


3.      Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Meninggal
Mengambil organ tubuh donor (jantung, mata atau ginjal) yang sudah meninggal secara yuridis dan medis, hukumnya mubah, yaitu dibolehkan menurut pandangan Islam dengan syarat bahwa :
a.       Resipien (penerima sumbangan organ tubuh) dalam keadaan darurat yang mengancam jiwanya bila tidak dilakukan transplantasi itu, sedangkan ia sudah berobat secara optimal baik medis maupun non medis, tetapi tidak berhasil. Hal ini berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاتِ
Darurat akan membolehkan yang diharamkan”.7
Juga berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
الضَّرَرُ يُزَالُ
Bahaya itu harus dihilangkan”.8
b.      Juga pencangkokan cocok dengan organ resipien dan tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat baginya dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Disamping itu harus ada wasiat dari donor kepada ahli warisnya, untuk menyumbangkan organ tubuhnya bila ia meninggal, atau ada izin dari ahli warisnya.
Demikian ini sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 29 Juni 1987, bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, maka pengambilan katup jantung orang yang telah meninggal untuk kepentingan orang yang masih hidup, dapat dibenarkan oleh hukum Islam dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan (lewat wasiat sewaktu masih hidup) dan izin keluarga/ahli waris.9
Adapun fatwa MUI tersebut dikeluarkan setelah mendengar penjelasan langsung Dr. Tarmizi Hakim kepada UPF bedah jantung RS Jantung “Harapan Kita” tentang teknis pengambilan katup jantung serta hal-hal yang berhubungan dengannya di ruang sidang MUI pada tanggal 16 Mei 1987. Komisi Fatwa sendiri mengadakan diskusi dan pembahasan tentang masalah tersebut beberapa kali dan terakhir pada tanggal 27 Juni 1987.10
Adapun dalil-dalil yang dapat menjadi dasar dibolehkannya transplantasi organ tubuh, antara lain:
a.       Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 195 yang telah kami sebut dalam pembahasan didepan, yaitu bahwa Islam tidak membenarkan seseorang membiarkan dirinya dalam bahaya, tanpa berusaha mencari penyembuhan secara medis dan non medis, termasuk upaya transplantasi, yang memberi harapan untuk bisa bertahan hidup dan menjadi sehat kembali.
b.      Al-Quran surah Al-Maidah ayat 32:
وَمَنْ أَحْياَهَا فَكَأَنمَّاَ أَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعاً
Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya”.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa tindakan kemanusiaan (seperti transplantasi) sangat dihargai oleh agama Islam, tentunya sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan diatas.
c.       Al-Quran surah Al-Maidah ayat 2: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa”. Selain itu juga ayat 195, menganjurkan agar kita berbuat baik. Artinya: “Dan berbuat baiklah karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
Menyumbangkan organ tubuh si mayit merupakan suatu perbuatan tolong-menolong dalam kebaikan, karena memberi manfaat bagi orang lain yang sangat memerlukannya.
Pada dasarnya, pekerjaan transplantasi dilarang oleh agama Islam, karena agama Islam memuliakan manusia berdasarkan surah al-Isra ayat 70, juga menghormati jasad manusia walaupun sudah menjadi mayat, berdasarkan hadits Rasulullah saw. : “Sesungguhnya memecahkan tulang mayat muslim, sama seperti memecahkan tulangnya sewaktu masih hidup”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Said Ibn Mansur dan Abd. Razzaq dari ‘Aisyah).11
Tetapi menurut Abdul Wahab al-Muhaimin; meskipun pekerjaan transplantasi itu diharamkan walau pada orang yang sudah meninggal, demi kemaslahatan karena membantu orang lain yang sangat membutuhkannya, maka hukumnya mubah/dibolehkan selama dalam pekerjaan transplantasi itu tidak ada unsur merusak tubuh mayat sebagai penghinaan kepadanya.12 Hal ini didasarkan pada qaidah fiqhiyyah :
ِإذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتاَنِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
Apabila bertemu dua hal yang mendatangkan mafsadah (kebinasaan), maka dipertahankan yang mendatangkan madharat yang paling besar, dengan melakukan perbuatan yang paling ringan madharatnya dari dua madharat”.13
d.      Hadits Nabi saw.
تَدَاوُوْا عِبَادَ اللهِ فَإِنَّ الله َلَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ اْلهَرَمُ
Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan suatu penyakit kecuali dia juga telah meletakkan obat penyembuhnya, selain penyakit yang satu, yaitu penyakit tua”.
(HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Hakim dari Usamah ibnu Syuraih)
Oleh sebab itu, transplantasi sebagai upaya menghilangkan penyakit, hukumnya mubah, asalkan tidak melanggar norma ajaran Islam.
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda pula : “Setiap penyakit ada obatnya, apabila obat itu tepat, maka penyakit itu akan sembuh atas izin Allah”. (HR. Ahmad dan Muslim dari Jabir).14
Selanjutnya berkenaan dengan hukum antara donor dan resipien yang seagama atau tidak seagama, serta hukum organ tubuh yang diharamkan seperti babi, juga dapat menimbulkan masalah, tetapi hal tersebut dapat dikaji berdasar ayat-ayat Al-Quran surah al-Najm 38-41 :
1.      “Bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwa manusia itu tidak memperoleh selain apa yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan. Kemudian akan diberi balasannya dengan balasan yang paling sempurna”.
2.      Al-Quran surah al-Baqarah ayat 286 : “Ia mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya itu dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakannya”.
Berdasar ayat-ayat diatas, berkenaan dengan hubungan antara donor dengan resipien yang menyangkut pahala atau dosa maka dalam hal ini mereka masing-masing akan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan mereka sendiri-sendiri.
Mereka tidak akan dibebani dengan pahala atau dosa, kecuali yang dilakukan oleh masing-masing mereka. Yang perlu diingat, bahwa yang salah bukan organ tubuh, tetapi pusat pengendali, yaitu pusat urat syaraf.
Oleh sebab itu, tidak perlu khawatir dengan organ tubuh yang disumbangkan, karena tujuannya adalah untuk kemanusiaan dan dilakukan dalam keadaan darurat.


  1. KESIMPULAN
Transplantasi merupakan hal yang sangat rumit dalam pengambilan tindakan yang tepat, karena banyak pendapat yang menentang dan mendukung tentang pelaksanaan transplantasi dengan berbagai alasan yang berbeda-beda. dari uraian pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum pelaksanaan transplantasi organ itu bergantung pada alasannya mengapa harus melakukan hal tersebut. jika alasannya tidak mendukung maka kegiatan transplantasi tesebut sangat dilarang dan hukumnya haram.




  1. DAFTAR PUSTAKA
Al Quranul Karim dn terjemahannya
Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, (Beirut-Lebanon: Dar-al-Fikr, 1415 H/1995 M)
Nata, Abuddin, Masail Fiqhiyyah, Kencana kerjasama dengan UIN Jakarta Press, Edisi I, Juli 2003
Sulayman ibn al-Asy’ats al-Sijistani, Abu Dawud Sunan Abi Dawud (Beirut: Dar Ihya al-Sunnah al-Nabawiyah,t.t), “Kitab al- Khatim, hadis no.4232, vol.2
Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, (Beirut: Dar-al-Kutub al-Ilmiah, tt), Cet. IV, Jilid I
MUI, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Sekretariat MUI, 1415 H/1995 M


1Abu Dawud Sulayman ibn al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abi Dawud (Beirut: Dar Ihya al-Sunnah al-Nabawiyah,t.t), “Kitab al- Khatim, hadis no.4232, vol.2, hal. 92
2http :// Konsultasi . Wordpress .com/2007/01/13/transplantasi –organ- 2/. Diakses pada 3 Maret 2013
4Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, (Beirut-Lebanon: Dar-al-Fikr, 1415 H/1995 M), hal. 62
5Ibid, hal. 63
6Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, (Beirut: Dar-al-Kutub al-Ilmiah, tt), Cet. IV, Jilid II, hal. 203
7Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, hal. 61
8Ibid, hal. 60
9MUI, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat MUI, 1415 H/1995 M), hal. 176
10Ibid, hal. 176-177
11Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, Jilid I, hal. 93
12Abuddin Nata, Masail Fiqhiyyah, Kencana kerjasama UIN Press Jakarta 2003, hal. 103
13Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, hal. 63
14Al-Suyuthi, al-Jami’ as-Shaghir, Jilid I, hal. 130

Tidak ada komentar:

Posting Komentar